Selasa, 06 Juli 2010

Me-rakyat-kan Ilmu Logika


Membaca buku Humor Ngaji Kaum Santri, Hamzah Sahal, Pustaka Pesantren Jogja ibarat mengarungi lautan dengan menggunakan sebuah kapal badut. Kita tidak merasa takut, karena lupa betapa dalam laut yang kita arungi, yang terasa hanyalah segarnya angin dan riangnya tawa dan canda.

Bagi sebagian besar orang, kalau disebut istilah "Kaidah-kaidah (Ushul) Fiqih", tentu yang terbayang adalah serangkaian kalimat dalam bahasa Arab, yang bahkan terjemahannya pun membuat dahi mengerenyit. Tapi di tangan Hamzah Sahal, semua mitos itu berubah. Kemampuan ini mungkin dapat disetarakan dengan "angker"-nya dunia Tasawuf yang sirna di dalam kisah-kisah Mullah Nasruddin Hoja alias Juha Al-Arabi, Bahlul, Abu Nuwas, dsb.

Kaidah-kaidah (Ushul) Fiqih tidak seseram yang dibayangkan orang. Semuanya hanyalah kenyataan logis yang bahkan telah biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kaidah adh-dhararu yuzaalu, alias menghindari hal-hal yang buruk (mudharat). Secara wajar dalam memilih alternatif dari suatu tindakan orang akan menghindari hal-hal yang merugikan dia. Namun bagaimana kaidah seperti ini bisa menjadi sebuah lelucon?

Konon, Ngalim (tokoh utama kisah ini) berhadapan dengan malaikat. Saat dia diperintahkan masuk neraka karena banyak dosa dalam hidupnya. Ngalim menolak, dan megajukan dalilnya:

"Tidak, pokoknya saya hanya mau masuk sorga. Kata Pak Ahmad (guru Kaidah Fiqih di tempat Ngalim nyantri), Tuhan saja tidak pernah memaksa hambanya. Dalam kaidah fiqih juga diperintahkan untuk menghilangkan mara bahaya. Adh-dhararu yazuulu: kemudharatan itu harus dihilangkan. Ini tidak main-main, sebab Imam as-Suyuthi yang merumuskannya." (Kaidah 5, hal. 9)


Bukan hanya itu. Ngalim juga mewakili kelakuan "wajar" kita yang mungkin akan mengenakan kacamata hitam saat orang-orang se-kost, kontrakan, atau sekelas pada kena belekan (sakit mata, merah dan gatal). Saat dia diprotes oleh teman-temannya, kenapa dia pakai kacamata, padahal yang belekan teman-temannya, dia bilang:

"Justru karena sehat, saya pakai kacamata. Ad-daf'u aqwaa min ar-raf'i. Artinya, mumpung belum kena, jaga-jaga," kata Ngalim beralasan." (Kaidah 22, hal. 52)


Banyak contoh lagi, yang mungkin diluar dugaan kita, bahwa kejadian sehari-hari berikut ternyata sesuai dengan kaidah fikih. Misalnya, mengapa dosen/guru berhak mencoret nilai kita kalau kita nyontek, meskipun tidak dicantumkan tulisan "close book" atau pun "open book" (Kaidah 3, hal. 5), mengapa tukang balon tidak meniup balon hingga besarnya melampaui batasan tertentu (Kaidah 38, hal. 83), termasuk dalil bahwa bayar angkot/bus jauh dekat sama saja (Kaidah 49, hal. 105), dan masih banyak lagi.

Kecenderungan pluralisme madzhab (bukan madzhab pluralisme) juga ditampakkan oleh penulis saat dia harus menyoroti berbagai perbedaan dalam madzab fikih.

Saat menjawab pertanyaan seorang peserta seminar, yang berpendapat bahwa Umat Islam harus bersatu dalam hukum (fikih) maupun politik, Ngalim menjawab bahwa apa pun yang menjadi dalilnya, sebagian besar fatwa (hukum/politik) adalah hasil ijtihad para ulama, sedangkan:

"Al-ijtihaadu laa yunqadhu bi al-ijtihaadi: ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain,". Semua perbedaan, yang terjadi sejak jaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang harus kita lihat dalam konteks ijtihad, termasuk orang yang mengaku-aku berpaku pada Al-Quran dan hadits secara murni." (Kaidah 7, hal. 13)


Mungkin jadi pertanyaan, mengapa berpegang pada Al-Quran dan hadits secara murni pun disebut ijtihad. Sebab, para ahli pun sering berbeda pendapat apakah sebuah nash harus dipahami secara harfiyah atau harus dipahami secara kontekstual, misalnya nash tentang melihat bulan. Berbagai perbedaan yang muncul sampai saat ini pun muncul karena perbedaan pemahanan tekstual maupun kontekstual dari nash. Karena itulah, Kaum Santri tidak disebut sebagai Islam Garis Keras, karena mereka amat menghargai
perbedaan ijtihad yang muncul di kalangan para ulama, tidak bersikeras memaksakan pendapat diri/golongan sendiri. (Kaidah 18, hal. 39)

Tapi berbicara tentang Kaum Santri, jangan berfikir yang serba "'alim" dan mutawadli' saja.
Beberapa unsur "mbeling"-nya para santri juga terungkap dalam bentuk "pemerkosaan" kaidah-kaidah fikih untuk melakukan justifikasi atas tindakan-tindakan mereka. Misalnya, santri yang melakukan pembenaran atas tindakan "nyontek"-nya, (Kaidah 3, hal. 5), atau saat membela diri karena ketahuan main kartu (gapleh) di asrama (Kaidah 13, hal. 29), dan yang tidak kalah konyol adalah memanfaatkan kaidah fikih untuk "memuaskan perut" saat ditraktir senior (Kaidah 10, hal. 21)..Selanjutnya "KLIK DISINI"

Minggu, 04 Juli 2010

BID'AH MENURUT ULAMA NU

Wahab Hasbullah
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan ... Aktivitas di Nahdatul Ulama: M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga pernah ...
Nawawi al-Bantani
misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama ), K.H. Ahmad ... html Biografi lengkap beliau ini bisa didownload dari sini . ...
Abdurrahman Wahid
Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari , pendiri Nahdlatul ... last Barton | first Greg | title Biografi Gus Dur: The Authorized ...

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.

Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
"KLIK DISINI" Untuk selengkapnya..

Sabtu, 03 Juli 2010

Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, Maret 1888, meninggal 29 Desember 1971) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, da’wah beliau dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.
Kyai Wahab merupakan bapak Pendiri NU setelah Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Beliau juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.

Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. Pada perang melawan penjajah Jepang beliau berhasil membebaskan KH. M. Hasyim Asy’ari dari penjara ketika ditahan Jepang. Kyai Wahab juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.
Selanjutnya "KLIK DISINI"

Jumat, 02 Juli 2010

Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad.SAW

Isra Mi'raj (Arab:الإسراء والمعراج‎, al-’Isrā’ wal-Mi‘rāğ) adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam.

Isra Mi'raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi[1] dan mayoritas ulama,[2] Isra Mi'raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri[3] menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi'raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi'raj.

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah shalat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Selengkapnya "KLIK DISINI"